CHALLENGE 2 : Tantangan Masa Depan dan Cara Menghadapinya

“Adiksi Gadget dan Game pada Anak di Bawah Umur”

 

Nama : Al Fitri Dhiya’ulhaq

NIM    : 16420107

F/S      : FTTM-C

Kelompok : 243

 

             Tidak bisa dipungkiri bahwa gawai elektronik beserta kawan-kawannya perlahan telah bergeser menjadi kebutuhan primer setiap orang di masa milenial ini. memang banyak sekali yang bisa dilakukannya, sangat membantu kita dalam berbagai sisi kehidupan. Mulai dari lingkup keluarga, sekolah, kuliah, memenuhi tuntutan kerja, hingga penghubung antarbelahan dunia. Namun, apa jadinya jika fenomena gadget ini bahkan melanda kalangan yang sebenarnya tidak membutuhkannya, mengingat semua hal pasti punya sisi negatif?.

            Beberapa tahun belakangan saya menemukan suatu konsistensi akan suatu hal yang menurut saya, kurang perlu dilanjutkan. Bahkan jika mungkin, sebaik nya dihentikan. Di keluarga saya banyak sekali anak kecil, sepupu, keponakan, dan lain-lain. Dan selain kesamaan berupa rentang usia dan tinggi badan, mereka semua punya suatu habit yang sama, suatu yang seperti fenomena, suatu kebiasaan yang memiliki tendensi ke arah candu. Mereka semua pernah bertandang ke rumah saya, dan apa yang pertama kali mereka lakukan Ketika duduk manis bertamu di rumah saudara?

Meminta smartphone kepada orang tua mereka, lalu mereka duduk manis, anteng, menghadap layar kotak di depannya, dan tak lama lagi akan terdengar suara bising dari video atau game yang mereka mainkan. Bukan lagi rengekan, tangisan atau tawa anak kecil yang lucu menggemaskan yang terdengar.

Sudah sering Mama saya mencoba mengingatkan orang tua mereka untuk tidak mem-bablas-kan kebiasaan tidak sehat tersebut, dan sudah sering pula mereka mengakui kalau mereka sudah berusaha membatasi pemakaian gawai pada anaknya. Namun, kenyataan yang saya lihat tidak berbanding lurus dengan statement mereka. Adik-adik itu terlihat sudah addicted, tidak bisa lepas dari game mereka, bahkan Ketika saya mencoba bersenda gurau dengan mereka, mereka pun tidak mengalihkan pandangan dari layar. Parahnya lagi, beberapa dari mereka bahkan marah, menangis saat dijauhkan dari gawai. Ini sudah sangat gawat menurut saya, tidak ada benarnya.

Apabila diteruskan, hal ini akan menjadi suatu tantangan bahkan ancaman bagi Indonesia. Bibit-bibit unggul bangsa sudah terpapar gadget dan segala hal-hal aneh di dalamnya sejak usia dini. Lalu, bagaimana kaitannya dengan tantangan masa depan jika dikaitkan dengan konsep VUCA?

Volatility (perubahan secara tiba-tiba dan sulit ditelusuri dan dikendalikan penyebabnya)

Mengapa hal ini bisa masuk pada volatility? Tidak ada yang tahu pasti, kapan fenomena kecanduan gadget pada anak ini bermula. Dan tidak ada yang bisa mengendalikannya, sekalipun orang tua. Apalagi dengan semakin bertambahnya macam-macam game yang bahkan secara gratis dan mudah dapat diakses oleh siapapun. Kita tidak akan bisa mengontrol produksi dan inovasi game yang terus akan bertambah, karena itu sudah menjadi profesi, sumber penghasilan bagi sebagian orang yang berkepentingan. Namun, kita juga tidak bisa memastikan, bahwa tidak akan pernah ada game yang memberi benefit bagi adik-adik kecil. Sebagai contoh, sekarang banyak bermunculan aplikasi menyerupai game yang sebenarnya adalah aplikasi pembelajaran untuk membaca, berhitung, menggambar, dan hard skill lainnya. Tidak juga menutup kemungkinan bahwa kelak di masa depan, anak-anak justru diwajibkan untuk menggunakan gadget sebagai sarana pembelajaran utama, seperti yang sudah kita alami sepanjang pandemi ini.

            Uncertainty (ketidakpastian)

Akan ada banyak hal yang dihadapi oleh adik-adik tersebut saat sudah dewasa, bahkan bisa jadi jauh lebih berat dari tuntutan kita di era milenial ini. kemajuan IPTEK yang pesat tak terukur waktu, kompetisi yang semakin kompetitif, sehingga akan memunculkan berbagai ketidakpastian. Tidak ada yang tahu pasti, siapa, kapan, bagaimana dan apa yang bisa mengubah kebiasaan itu. Akan ada banyak hal yang bahkan bisa memperkuat kecanduan anak terhadap gadget, akan ada banyak hal yang semakin membuat para orang tua justru terdorong untuk terus membuat anak-anaknya terpapar blue ray, namun akan ada banyak hal juga yang akan mengambil peran sebagai oposisi.

            Complexity (keterhubungan )

Banyak peran yang harus mengambil Langkah intervensi dalam tantangan ini, karena banyaknya peran juga yang membuat fenomena ini bisa terjadi. Aspek internal, misalnya. Anak kecil secara alami memiliki curiosity yang sangat tinggi terhadap hal-hal yang pertama kali tertangkap inderanya. Maka sekali dikenalkan dengan gadget, adik-adik akan terus ingin mencari tahu lebih jauh tentang apa saja yang di dalamnya. Dari sisi orang tua, klasiknya, zaman sekarang banyak orang tua yang memiliki tuntutan kerja yang tinggi, yang memungkinkan para orang tua bekerja seharian, dan kurang kontak dengan anak mereka. Sebagai gantinya, orang tua memberi akses kepada anaknya untuk bermain dengan gadget, “pengganti sementara” kehadiran ibu ayahnya. Aspek eksternal, perusahaan informatika tak henti-hentinya berinovasi mengembangkan teknologi, salah satunya dengan terus mengembangkan platform digital beraneka ragam, tak terkecuali game dan sebagainya.

           

Ambiguity (memiliki banyak pemaknaan)

Banyak juga yang berpendapat bahwa tidak selamanya anak yang terpapar gadget akan selalu berdampak buruk, justru bisa jadi hal itu menjadi pijakan untuk kreativitas mereka. Berinovasi, mengenal dunia luar, dan anak akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, mengingat ke depannya, seakan dunia akan terus dikuasai teknologi. Namun, Kembali pada porsi dan pengendalian diri.

 

Lalu, bagaimana kecanduan gadget yang melanda anak di bawah umur ini menjadi penting?

            Bangsa Indonesia membutuhkan manusia yang adaptif, solutif, produktif. Kerja keras, cerdas, mawas, tuntas, ikhlas. Dan apa yang bisa diperoleh dari anak yang hanyak bermain game, tidak ingin berinteraksi dengan sekitarnya karena game dirasa jauh lebih asyik?. Hal-hal penting termasuk soft-skill dan ingatan sangat mudah terpatri dan tidak mudah ditinggalkan apabila dimulai sejak kecil. Jika hal yang terpatri dalam pikiran anak ketika kecil adalah game itu segala-galanya, akan tidak mudah untuk mengubahnya ketika beranjak dewasa. Jika mata terus terpapar blue ray dari gadget sejak kecil, maka tinggal panen mata minus saja ketika masuk sekolah. Indonesia bukan butuh anak minus karena gamers, bolehlah jika karena terlalu banyak membaca.

 

Lantas Langkah apa yang bisa kita ambil untuk mengatasinya?

Skill. Kemampuan yang harus kita miliki untuk mengatasi problem global adalah bagaimana kita harus sadar dan peka bahwa ada yang tidak beres di suatu masyarakat. Setelah sadara bahwa kecanduan anak akan gadget ini sudah melampaui batas, maka yang harus dilakukan adalah bagaimana kita memutuskan hal apa yang harus kita lakukan. Kita sebagai saudara, keluarga sekaligus insan akademis bisa memulai mengalihkan perhatian adik-adik kecil tersebut dengan terus mengajaknya bergurau, bisa dengan menggelitiki, menawarkan es krim, atau makanan lain yang disukai anak-anak, atau bercanda dengan merebut gadgetnya. Lebih bagus jika kita punya inisiatif untuk mengajaknya bermain sekaligus secara tidak langsung mengedukasi adik-adik, seperti mengajaknya menggambar, bermain hal lain yang melibatkan orang lain agar bisa beradaptasi dengan orang lain, dsb. Jika memang susah, maka bisa kita buat kesepakatan dengannya, semisal adik diperbolehkan untuk bermain gadget hanya satu jam dalam sehari, atau diperbolehkan bermain gadget setelah ia makan, atau menyelesaikan sesuatu, dan setelah itu alihkan perhatian hingga ia lupa akan kesempatannya untuk bermain gadget. Banyak hal yang bisa dilakukan sebenarnya. Hanya masalah waktu, perubahan memang tidak bisa dihadirkan semalam saja, apalagi sesuatu yang telah menjadi habit, mandarah daging. Dengan kontinuitas, keuleta, komitmen dan usaha yang benar oleh orang di sekitar anak-anak, seiring waktu, mereka juga akan bisa meninggalkan ketergantungan dengan gadget, dan semakin menyadari betapa berharganya orang-orang di sekitarnya.

 

 

 

 

           

 

Komentar